24/03/25

TOLAK UU TNI, WHY WE SHOULD ?

 

Sumber Gambar : kompas.id

Sejak era reformasi, peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengalami berbagai transformasi, terutama dalam upaya mendemiliterisasi peran militer dalam kehidupan politik. Sejumlah peraturan dan kebijakan telah diterapkan untuk menyesuaikan fungsi TNI dengan prinsip-prinsip demokrasi. RUU TNI muncul dalam konteks kebutuhan untuk memperbaharui kerangka hukum yang mengatur institusi militer.

Nampaknya perjuangan reformasi tahun 1998 dengan spirit reformasi itu mulai tidak disukai di kalangan pemerintah? Entah apa alasannya, apakah memang matinya hati nurani atau kebodohan yang melekat pada pikiran mereka? Cita-cita reformasi seolah ditenggelamkan oleh adanya pembahasan RUU TNI yang tidak transparan, padahal menurut Zainal Arifin Mochtar kerja undang-undang harus memenuhi unsur kerja teknokratik yang harus menghadirkan partisipasi publik. Tentunya proses ini kemudian menghambat populisme di tatanan pemerintahan dan kelembagaan. Tidak hanya mencederai semangat reformasi, kekejaman Orba jaman dulu banyak mewariskan masa kelam pada perjalanan sejarah Indonesia, sedari awal hasrat untuk memuluskan praktik politik yang tidak responsif harus dihentikan dan jika perlu menolak kelahiran kembali New Orba.

Bangsa ini telah berusaha terbebas dari kerangkeng feodalisme, imperialisme, dan kecaman dimasa orde baru. Lantas keberadaan UU TNI yang kemudian mengembalikan fungsi militer dalam ranah sipil jelas mencederai demokratisasi yang dicita-citakan para pendahulu reformasi. Perjuangan para aktivis 98 menjadi sia-sia dan tidak ada guna. Penghianatan terhadap supremasi sipil mulai bergelimang semenjak disahkannya UU TNI di era yang penuh kemajuan. Tidak akan pernah terlupakan bagaimnan bengisnya dulu jika militerisme kembali diaktifkan diranah-ranah sipil, akan membuat bergesernya kedaulatan rakyat.

Para oportunis semakin bergriliya ditubuh birokrasi baik ditingkat lokal maupun nansional mereka berusaha menghilangkan hak kebebasna sipil untuk bergabung diranah-ranah pemerintahan, sebagaiman Hobes mengatakan jika ingin melihat suatu peraturan hukum maka jangan dilihat dari keberadaan aturan yang tertulis melainkan lihatlah siapa pemegang otoritas politik tertinggi di suatu lembaga.

tragedi terciptanya UU TNI tidak terlepas dari power full pemerintah menempatkan para prajurit aktif untuk kembali menempati jabtan-jabatan siil di kementrian maupun lembaga negara, sebagai kaum akademisi tentunya kami tidak ingin mengilhami suatu kejadian tragis yang dulunya sempat dijadikan sebagai suatu kewajaran bagi pemerintah. Mereka berhasil membuat rekayasa sosial ditengah maraknya kasus yang kemudian memanipulasi peralihan kasus besar publik.

Boleh saja mengasumsikan segala kejadian yang nampaknya akan meruntuhkan demokrasi, sebab bangsa ini dijalin dan berkembang maju akibat tragedi berdarah-darah yang dulunya menggaransi adanya duifungsi abri yang berhasil terlibat dalam kontestasi politik, tentunya kadanya pengesahan yang dilakukan oleh DPR secara tertutup yang kemudian membawa gejolak diberbagai belahan penjuru negri, bukan sekedar kedaulatan militer namun ini akan mengembalikan otoritarianisme dalam tubuh negri kita ini, New orba akan kembali unjuk gigi dimasa tenggelamnya cita-cita reformasi 98.

UU TNI

            Keluarnya Indonesia dari New Orba yang melahirkan Era Reformasi yang menjadikan Rakyat Indonesia sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan pemerintahan yang lebih demokratis. Sebagaimana pengertian demokrasi oleh para ahli bahwa pemerintahan sejatinya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. UU TNI kemudian muncul untuk membatasi kekuasaan sepihak yang tidak sejalan dengan sila ke-5 “keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”. Undang-undang ini mengatur peran, fungsi, dan tugas Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan negara yang bertugas melindungi kedaulatan, keutuhan, dan keselamatan bangsa. UU TNI yang juga disebut sebagai Undang-undang No. 34 Tahun 2004 ini dibentuk dimaksud untuk menghapus UU dwifungsi ABRI dan kemudian dimasa presiden ke-4 Alm. Gus Dur lebih terperinci bahwa panglima dan kementerian pertahanan secara fungsional dipisah.

            Bukan Keputusan yang mudah dan tentunya membutuhkan pertimbangan yang panjang serta pastinya bukan biaya yang cukup murah untuk mengesahkan UU No. 34 Tahun 2004 ini. Lalu di era globalisasi ini, pemerintah dengan terburu-buru menilai RUU TNI memiliki urgensi yang kuat untuk segera disahkan?

RUU TNI

            Pada Perubahan atas Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia bermaksud mengubah pasal 47 yang membahas tentang perluasan ruang lingkup dan pemisahan jabatan fungsional TNI dan pasal 53 yang membahas perpanjang masa pensiunan bagi prajurit tamtama dan perwira. Pada naskah akademiknya disebutkan bahwa “..... TNI memiliki banyak sumber daya manusianya sedangkan kementerian/lembaga justru mempunyai keterbatasan sumber daya manusianya. Kondisi ini harus diatasi agar penyelenggaraan pemerintahan berjalan dengan baik. Untuk itu, perubahan Pasal 47 ayat (2) UU TNI merupakan suatu keniscayaan. …” Entah maksudna sumber daya manusia untuk di kementerian/ lembaga negara dinilai kurang atau mungkin rakyat sipil sudah dinilai tidak berkulitas untuk masuk ke tatanan lembaga negara atau hanya ingin memberdayakan TNI saja?

            Pada naskah akademiknya juga disebutkan bahwa “.....Penempatan prajurit aktif TNI di kementerian/lembaga negara bukanlah bentuk pelaksanaan dwi fungsi TNI. Sebab, hal ini berbeda dengan pelaksanaan dwi fungsi ABRI pada masa lalu. Pada pelaksanaan dwi fungsi ABRI, prajurit aktif dapat terlibat aktif dalam kegiatan politik praktis. …” Lalu apa maksud adanya penambahan frasa yang sangat subjektif ini? -> “.....serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden. …”. Adanya ke-bias-an atau konflik norma juga pada pasal 47 ayat 1 dan 2 yang sebenarnya telah ada juga pada UU TNI sebelumnya yaitu:

          1. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 47

(1) Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.

(2) Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung, serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden. 

 

Berdasarkan era globalisasi sekarang apakah ketentuan atau perubahan ini memiliki urgensi yang tinggi di tengah masyarakat untuk membuat TNI dapat menduduki jabatan sipil? Hal ini bukan lagi dwifungsi ABRI tapi multifungsi ABRI. Bagaimana tidak? dengan penilaian kasar, prajurit aktif dinilai bisa menduduki jabatan sipil kapanpun apabila ada kebijakan Presiden. Bayangkan apabila pengawasan tidak diimplementasikan secara efektif akan terjadi pasti kekhawatiran atas kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan. Dengan adanya RUU TNI ini, Presiden diberi lebih banyak kekuasaan dengan dapat merekrut prajurit aktif hanya dengan mengeluarkan kebijakan presiden. Lalu muncul pertanyaan, siapakah sebenarnya memiliki urgensi atas RUU ini? apakah benar-benar kebutuhan masyarakat? Atau siapakah prajurit aktif yang ingin dinaikkan ke jabatan sipil itu?

Dalam naskah akademiknya menyebutkan bahwa “.....Pasca reformasi, TNI dibangun dan dikembangkan secara  profesional sesuai dengan kepentingan politik negara yang mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang telah diratifikasi, dengan dukungan anggaran belanja negara yang dikelola secara transparan dan akuntabel. ….” Apakah akan tetap profeional apabila seorang prajurit aktif memegang dua jabatan atau bahkan lebih secara sekaligus?

RUU TNI merupakan upaya reformasi hukum yang kompleks dengan tujuan untuk menyelaraskan peran TNI dalam kerangka negara hukum dan demokrasi. Tetapi kurangnya transparansi pemerintahan, kekhawatiran mengenai potensi penyalahgunaan kekuasaan dan implikasi terhadap hubungan sipil-militer tetap menjadi poin penting dalam perdebatan. Oleh karena itu, seharusnya keterlibatan berbagai pemangku kepentingan mulai dari akademisi, praktisi hukum, hingga masyarakat luas diperlukan untuk memastikan bahwa reformasi yang diterapkan benar-benar mencerminkan kepentingan nasional dan tidak menimbulkan disfungsi baru dalam sistem pemerintahan.

WHAT DO YOU THINK? DO YOU AGREE WITH?

Penulis : Nurul Auliya S (Komisi I SEMA-U)
Redaktur : Hoirul Anam

"YOU GUYS ARE OUR ASPIRATION"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar